Musim Gugur
Coretan
Pernahkah kamu melihat cantiknya musim gugur? Biarkan aku sedikit
mendeskripsikannya. Sejuknya udara hasil pergantian dari musim panas
menuju musim dingin. Daun-daun yang mulai berubah warna dari hijau
menjadi kuning kemerahan, lalu jatuh tertiup angin musim gugur. Taman
kota menjadi tempat singgah yang menakjubkan karena perpaduan warna dari
pepohonan yang berganti warna itu, dan pula semburat oranye di langit
senja.
Menjawab pertanyaanku tadi, pasti sebagian dari kita menjawabnya dengan kata tidak. Letak geografis Indonesia tidak memungkinkannya untuk menjadi negara dengan empat musim. Siapa yang merasa iri? Aku?
Tentu saja. Aku sendiri sering membayangkan diriku berada di tengah
musim gugur, duduk dibawah pohon tua yang masih merontokkan daun-daun
rapuhnya dan membaca buku bagus, serta ditemani sejuknya angin yang
mengalun. Ah.
Beruntunglah mereka yang bisa merasakan pergantian musim sebanyak empat
kali dalam setahun. Sekiranya tiga bulan sekali, mereka bisa melihat
perbedaan signifikan dari keadaan di sekitar mereka.
Lalu, mengapa aku memilih musim gugur?
Mengapa tidak musim dingin? Saat semuanya terlapis selimut putih, dan
kita bisa menikmati secangkir cokelat panas kapanpun kita suka.
Mengapa tidak musim panas? Saat semuanya menjadi cerah tanpa awan, dan
kita bisa tidur larut karena matahari tenggelam lebih lama.
Mengapa tidak musim semi? Saat semuanya seperti memulai kehidupan baru,
dan kita bisa tersenyum simpul melihat beberapa mawar ataupun lili yang
baru mekar.
Tentu saja aku memiliki alasanku. Alasan mengapa musim gugur menjadi topik pilihanku. Pertama, kehidupan. Kedua, aku dan dia. Tentu saja aku akan menghubungkan musim gugur dengan cerita aku dan dia.
Alasan pertama: Kehidupan. Hasil lamunanku membawaku pada kenyataan
bahwa musim gugur mengajarkan kita sebuah siklus hidup. Semua yang hidup
akan mati. Lihatlah semua tumbuhan yang segar saat musim semi dan saat
musim panas itu, mereka semua menyerah di tangan musim gugur. Mereka
bertambah tua, terlupakan, rapuh, terlepas dari cabang-cabangnya, jatuh
ke tanah lalu diinjak orang lewat. Manusia juga seperti itu, bukan?
Terlihat gagah dan penuh semangat saat masa mudanya lalu mengikuti
siklus daun kering di musim gugur.
Alasan kedua: aku dan dia.
Tahukah betapa indahnya cerita yang tercipta karena musim gugur?
Banyak? Ya. Lagi-lagi karena cantiknya kombinasi warna pepohonan dan
langit, banyak orang memulai kisahnya pada musim ini. Namun karena
terselip beberapa warna kelabu (seperti langit mendung dan hujan
tiba-tiba) banyak pula buku cerita yang harus berakhir, meninggalkan
debu yang diam-diam mengisi celahnya.
Tidak. Aku dan dia tidak memulai kisah kami pada musim gugur, karena di Indonesia hanya ada musim hujan dan musim kemarau. Tidak. Aku dan dia tidak berencana menutup buku cerita kita pada musim gugur. Aku ingin terus menulisnya, begitupula dia, dan sesekali membaca beberapa halaman lalu. Tintanya? Tentu saja tidak hanya hitam.
Lalu apa hubungannya musim gugur dengan aku dan dia?
Tidak ada hubungannya. Sama sekali. Aku hanya akan berusaha mengaitkannya, walau nantinya akan sedikit ambigu.
Aku menyukai musim gugur lebih dari musim-musim yang lain, aku tidak ingin aku dan dia menjadi
seperti sebuah pohon pada musim gugur. Lihat betapa cantik warna daun
pohon pada awal musim gugur; terang, kemerahan, menggoda untuk menatap
lebih lama. Lihat betapa mesranya daun tersebut dengan dahannya. Si Daun
menari-nari tertiup angin dan Si Dahan menopang tubuh ringkihnya dengan
kekuatan yang ia miliki. Seperti dia yang selalu menopangku saat aku membutuhkannya, tanpa mengeluh, tanpa meminta lebih. Semuanya gratis.
Namun lihat apa yang terjadi saat musim gugur sudah memasuki pertengahan
masanya. Angin musim dingin mulai datang, dan meniup pohon tersebut
tanpa belas kasih. Apa yang terjadi pada daun dan dahan yang tadinya
terlihat mesra itu? Terlihat sekali bahwa dahan tidak bisa menopang daun
lagi dengan kekuatannya, karena tiupan angin dingin itu lebih kuat.
Daun juga sama saja, dia tidak mencoba bertahan dan malah melepaskan
dirinya dari dahan lalu terbang sendiri mengikuti arah angin, lalu
mengering di tanah. Sendirian.
Aku tidak ingin kisah aku dan dia menjadi seperti itu. Walau masalah yang ada membuat aku dan dia terus goyah, pertahanan kami lebih kuat dari mesranya dahan dan daun yang sekarang sudah terpisah itu.
Pendapatmu Membangunkan Jiwa Kreasi Pemuda/i Indonesia