Rabu, 18 Februari 2015

Musim Gugur

Musim Gugur

Pernahkah kamu melihat cantiknya musim gugur? Biarkan aku sedikit mendeskripsikannya. Sejuknya udara hasil pergantian dari musim panas menuju musim dingin. Daun-daun yang mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning kemerahan, lalu jatuh tertiup angin musim gugur. Taman kota menjadi tempat singgah yang menakjubkan karena perpaduan warna dari pepohonan yang berganti warna itu, dan pula semburat oranye di langit senja.
Menjawab pertanyaanku tadi, pasti sebagian dari kita menjawabnya dengan kata tidak. Letak geografis Indonesia tidak memungkinkannya untuk menjadi negara dengan empat musim. Siapa yang merasa iri? Aku? Tentu saja. Aku sendiri sering membayangkan diriku berada di tengah musim gugur, duduk dibawah pohon tua yang masih merontokkan daun-daun rapuhnya dan membaca buku bagus, serta ditemani sejuknya angin yang mengalun. Ah.
Beruntunglah mereka yang bisa merasakan pergantian musim sebanyak empat kali dalam setahun. Sekiranya tiga bulan sekali, mereka bisa melihat perbedaan signifikan dari keadaan di sekitar mereka.
Lalu, mengapa aku memilih musim gugur?
Mengapa tidak musim dingin? Saat semuanya terlapis selimut putih, dan kita bisa menikmati secangkir cokelat panas kapanpun kita suka.
Mengapa tidak musim panas? Saat semuanya menjadi cerah tanpa awan, dan kita bisa tidur larut karena matahari tenggelam lebih lama.
Mengapa tidak musim semi? Saat semuanya seperti memulai kehidupan baru, dan kita bisa tersenyum simpul melihat beberapa mawar ataupun lili yang baru mekar.
Tentu saja aku memiliki alasanku. Alasan mengapa musim gugur menjadi topik pilihanku. Pertama, kehidupan. Kedua, aku dan dia. Tentu saja aku akan menghubungkan musim gugur dengan cerita aku dan dia.
Alasan pertama: Kehidupan. Hasil lamunanku membawaku pada kenyataan bahwa musim gugur mengajarkan kita sebuah siklus hidup. Semua yang hidup akan mati. Lihatlah semua tumbuhan yang segar saat musim semi dan saat musim panas itu, mereka semua menyerah di tangan musim gugur. Mereka bertambah tua, terlupakan, rapuh, terlepas dari cabang-cabangnya, jatuh ke tanah lalu diinjak orang lewat. Manusia juga seperti itu, bukan? Terlihat gagah dan penuh semangat saat masa mudanya lalu mengikuti siklus daun kering di musim gugur.
Alasan kedua: aku dan dia. Tahukah betapa indahnya cerita yang tercipta karena musim gugur? Banyak? Ya. Lagi-lagi karena cantiknya kombinasi warna pepohonan dan langit, banyak orang memulai kisahnya pada musim ini. Namun karena terselip beberapa warna kelabu (seperti langit mendung dan hujan tiba-tiba) banyak pula buku cerita yang harus berakhir, meninggalkan debu yang diam-diam mengisi celahnya.
Tidak. Aku dan dia tidak memulai kisah kami pada musim gugur, karena di Indonesia hanya ada musim hujan dan musim kemarau. Tidak. Aku dan dia tidak berencana menutup buku cerita kita pada musim gugur. Aku ingin terus menulisnya, begitupula dia, dan sesekali membaca beberapa halaman lalu. Tintanya? Tentu saja tidak hanya hitam.
Lalu apa hubungannya musim gugur dengan aku dan dia?
Tidak ada hubungannya. Sama sekali. Aku hanya akan berusaha mengaitkannya, walau nantinya akan sedikit ambigu.
Aku menyukai musim gugur lebih dari musim-musim yang lain, aku tidak ingin aku dan dia menjadi seperti sebuah pohon pada musim gugur. Lihat betapa cantik warna daun pohon pada awal musim gugur; terang, kemerahan, menggoda untuk menatap lebih lama. Lihat betapa mesranya daun tersebut dengan dahannya. Si Daun menari-nari tertiup angin dan Si Dahan menopang tubuh ringkihnya dengan kekuatan yang ia miliki. Seperti dia yang selalu menopangku saat aku membutuhkannya, tanpa mengeluh, tanpa meminta lebih. Semuanya gratis.
Namun lihat apa yang terjadi saat musim gugur sudah memasuki pertengahan masanya. Angin musim dingin mulai datang, dan meniup pohon tersebut tanpa belas kasih. Apa yang terjadi pada daun dan dahan yang tadinya terlihat mesra itu? Terlihat sekali bahwa dahan tidak bisa menopang daun lagi dengan kekuatannya, karena tiupan angin dingin itu lebih kuat. Daun juga sama saja, dia tidak mencoba bertahan dan malah melepaskan dirinya dari dahan lalu terbang sendiri mengikuti arah angin, lalu mengering di tanah. Sendirian.
Aku tidak ingin kisah aku dan dia menjadi seperti itu. Walau masalah yang ada membuat aku dan dia terus goyah, pertahanan kami lebih kuat dari mesranya dahan dan daun yang sekarang sudah terpisah itu.
Inginku, aku dan dia akan menjadi yang menyaksikan guguran daun-daun kemerahan itu di suatu negara. Berjalan dibawah deretan pohon yang menggugurkan daunnya, melihat indahnya, merasakan sejuknya angin musim gugur dengan jemari yang selalu terikat bersama. ^^
.
Musim Gugur
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

Pendapatmu Membangunkan Jiwa Kreasi Pemuda/i Indonesia